1 min read

Menyerah Pada Pagi

Aku ingin dalam ketenangan, sekali saja. Paling tidak, semenit pun tidak mengapa, aku akan mengimaninya. Bila boleh, sepanjang sisa hidupku, itu lebih baik. Tapi, siapa yang sudi memberi?

Kebahagiaan itu mudah kadaluarsa, namun, tidak dengan penderitaan. Derita tak seperti udara, bahkan bertahan dalam yang gelap. Mereka yang mengimani percaya menderita, bagi yang tidak, hidupnya merdeka.

Aku pernah takut mati hingga pada akhirnya tidak begitu dan tidak sama sekali. Perihnya selalu bisa ditahan, rasionya yang memicu reaksi kimia. Biarkan saja apa yang terjadi setelahnya tetap terjadi. Kegelisahan tak akan mengubah apapun.

Akulah yang menguburnya hidup-hidup, dengan harap mereka tak pernah mati, dengan harap mereka bersemi pada rupa yang lebih indah. Rupa yang aku pahami di kemudian hari. Biarpun menjadi gugur, biarkan aku menikmatinya saat aku sudah sempurna.

Aku begitu cinta kesunyian, lebih dari mencintai diriku sendiri. Jika kehidupanku telah sempurna, biarkan semuanya sunyi, biarkan aku menikmatinya sekali saja, biarkan aku menikmatinya sekali saja, biarkan aku menikmatinya sekali saja. Sungguh, biarkan aku menikmatinya sekali saja. Kehidupan ini begitu brengsek, hanya orang tolol yang menganggapnya adil. Para bangsat itu berselimut dogma, mereka tak layak menilai peristiwa apapun.

Telah lama aku tak menikmati semuanya, seolah aku menjadi dasar bagi yang lain. Aku terlalu gemetar untuk menjadi radikal bagi diriku, aku terlalu pengecut untuk menjadi yang fana. Biarkan aku bahagia saat kesempurnaan terjadi, sebab aku tak yakin pada setelahnya.

Aku ingin melebur menjadi sepi, menjadi apa yang aku nikmati selama ini. Kesepian itu seni, tak semua mampu menikmatinya. Bagi yang menikmati ia ingin melebur, bagi yang tidak ia ingin segera mengobatinya.

Aku cinta keheningan, di dalamnya mengandung tenang. Aku ingin menyatu dengan hening, agar selamanya aku bersemayam dalam tenang.

Biarkan aku menyerah pada pagi, agar aku tak menyerah pada diri.