Tiba-Tiba Kosong
Ketika aku tengah merasakan jatuh cinta, aku sangat bisa mendeskripsikannya dengan jelas dan perasaan yang berubah dapat aku amati dengan begitu lengkap. Begitu pun saat aku bergembira, kendati tidak pernah lama, namun pengalamannya dapat aku amati dengan seksama.
Sayangnya hal tersebut tidak terjadi pada saat aku merasa hampa. Aku bahkan tak mampu mendeskripsikan perasaanku sendiri, bahkan aku tak mampu untuk menguraikan apapun yang aku pikirkan soal kehampaan.
Mungkin itu mengapa disebut dengan hampa, benar-benar kosong dan tidak bergairah. Pada satu kondisi aku mengamati bahwa aku dapat merasa bergembira namun aku juga tetap merasa kosong. Seolah keduanya adalah energi yang berbeda yang dapat terjadi pada satu peristiwa yang sama.
Aku bukan tengah kesepian, jika begitu, aku dapat mendeskripsikannya dengan jelas. Pun aku bukan tengah berada dalam kesedihan, jika begitu, aku dapat menulis elegi yang panjang hingga tak seorang pun sudi membacanya.
Saat di tengah keramaian pun aku masih bisa merasa hampa, aku dapat ikut bergembira, namun tetap perasaan kosong itu tak mau lepas. Kehampaan seolah menzarah dan bersemayam pada tubuh, atau mungkin sudah menjadi bagian dari anatomi tubuh.
Hal yang aku rasakan saat ini adalah tidak sedih, tidak bergembira dan tidak bergairah. Ketidakhadiran gairah ini menjadi penyebab atau mungkin akibat dari kehampaan? Entah, semuanya datang bersamaan, aku tak sempat mengamati mana satu yang datang lebih dulu di antaranya.
Beda dengan patah hati, walaupun banyak hal datang dengan cara tiba-tiba, tapi aku masih sempat mengamatinya. Saat-saat seperti itu bukan tak bergairah, namun cenderung murung. Tiba-tiba menjadi puitis. Pelariannya adalah melakukan hal sama yang akan membuat patah hati kembali. Beruntungnya, peristiwa semacam itu tak akan bertahan lama.
Aku pernah patah hati beberapa kali. Peristiwanya hanya akan berlangsung beberapa hari saja, memang, perasaannya bertahan hingga berbulan-bulan. Namun masih bisa diobati dengan mengalihkannya pada kegiatan yang lain. Aku sudah mencoba cara yang sama pada kehampaan. Tidak ada yang berubah.
Berkali-kali aku coba merenung untuk memikirkan apa-apa yang menjadi penyebabnya. Aku pernah berpikir bahwa aku kesepian hingga aku berhipotesis bahwa aku membutuhkan cinta dari seorang perempuan asing.
Aku seringkali berpapasan dengan perempuan yang rupawan, tentu seringkali begitu menarik, namun yang aku rasakan tak lebih dari sekadar faktor biologis saja. Aku percaya bahwa cinta adalah proses yang begitu kompleks dan peristiwanya seperti hujan yang diberikan oleh alam.
Mungkin saja aku harus jatuh cinta pada seorang perempuan asing. Namun aku sedang tak tertarik pada siapapun. Bahkan aku menyengaja untuk tak tertarik pada siapapun. Tentu alasannya banyak, namun yang begitu mendorong adalah peristiwa masa lalu.
Pengalamanku bilang, saat mencintai perempuan asing aku lebih mudah kecewa daripada bahagia. Sudah pasti hal tersebut yang menjadi alasan signifikan mengapa aku belum juga menikah hingga saat ini. Sungguh tak masuk akal ketika aku melakukan suatu perbuatan saat aku memiliki banyak alasan untuk tak melakukannya.
Tentu bukan salah cinta, jatuh cinta pada siapa yang menjadi persoalan. Keyakinanku mengajarkan bahwa aku harus mencintai semua makhluk hidup. Tentu saja, tapi tak perlu hingga jatuh dan tersungkur yang membuat akalku terlepas.
Sebagai orang yang tidak begitu religius, aku tetap harus mencoba pendekatan yang lebih teologis. Mungkin saja aku harus lebih serius dalam beribadah. Bahkan mungkin juga kehampaan itu datangnya dari sana.
Bagi plutokrat mungkin kekayaanku yang tak cukup penuh sehingga kehampaan yang mengisi sisanya. Bisa saja. Semakin bertambah umur hal yang aku pelajari adalah banyak persoalan konkret yang dapat diselesaikan hanya dengan uang. Silahkan saja tetap menjadi seorang yang ideal, namun faktanya tetap demikian adanya.
Bisa saja aku biarkan keadaan seperti ini hingga menjadi normal yang baru. Bahkan mungkin saja aku mulai bisa menikmatinya, sebab sudah benar-benar bersemayam pada waktu-waktu tertentu. Pun bisa saja hilang begitu saja tanpa aku harus membaca buku-buku perbaikan diri yang membuat seolah aku tak paham dengan hidupku sendiri.
Apapun itu aku selalu berusaha menikmati hidupku. Menikmati setiap peristiwa di dalamnya, memahami setiap fase, mengamati perasaan yang mencoba meredupkanku.
Apapun yang tak membuatku mati akan membuatku menjadi lebih hidup.