Tidak Merokok Itu Biasa Saja
Aku tidak merokok dan itu biasa saja. Memangnya, harus bagaimana? Mungkin berbeda bila awalnya aku merokok lalu memilih berhenti, terdapat sebuah capaian di dalamnya. Tentu, aku dapat mengerti kebahagiaan para perokok yang sudah berhenti.
Aku memang tidak merokok sejak awal. Bapakku awalnya seorang perokok, namun saat aku lahir ia sudah berhenti hingga aku tak pernah melihat contoh seorang perokok.
Tentu, aku pernah mencobanya dengan alasan yang pragmatis atau bahkan alasan yang kesannya filosofis. Aku pernah berpikir itu akan membuat terlihat maskulin atau bahkan dapat mengentaskan stres. Sialnya, stresnya tetap bersemayam dan lambungku semakin tak karuan.
Tidak ada kebahagiaan saat merokok. Semu rasanya. Tidak mengubah apapun, masyrakat tetap feodal, indeks demokrasi menurun, daya pikir kian pragmatis, dan kita tetap berpura-pura ketimuran. Tak perlu bicara soal kesejahteraan sambil merokok, asap rokokmu itu tengah dihirup orang lain.
Memang, kita semua akan mati, namun mati sebagai seorang perokok sungguh tidak menarik. Tentu, masih termaafkan, alih-alih mati sebagai pelacur intelektual.
Aku tak membenci perokok, aku jengkel terhadap tiap orang yang merasa berhak atas hak orang lain secara umum. Namun, tetap tidak mengubah kejengkelanku terhadap fasis. Mereka lebih berengsek. Mereka mati, lalu hadir lagi dalam kolektif yang lain.
Para penafsir yang merokok jauh lebih absurd, mereka menafsir, lalu menyalahkan tafsir yang lain. Tafsir mereka saja yang benar, sisanya harus bubar. Ironis. Penafsir diusir penafsir.
Tidak ada ruang sehat hari ini, untuk berpikir atau sekadar bernapas. Berthanalah, kiamat tak lama lagi katanya.