1 min read

Tuhan Yang Benar

Tak melulu hidup, mati pun dapat berguna. Membebaskan burung menggerogoti, atau mengalihkannya pada hak ikan. Saat fana sampai puncaknya, tubuh gemetar tak jadi kendala. Kesempurnaan ialah niscaya, menunggu mati rasa atau bahagia, esok datang tak ada yang mampu halang.

Tuhan mampu interupsi, namun, tak adil, katanya. Mereka yang tenggelam, sebab berdoa pada Tuhan yang salah saja. Membiarkannya meringkuk di dalam gelap; meleburnya dalam api dengan kesesatan. Para penyembah tafsir merancap religiositas dengan khidmat di hadapan mereka.

Biarlah Tuhan menjadi adil. Membiarkan yang buta tak melihat, melihat kehawatiran. Membiarkan yang tuli tak mendengar, mendengar pekik sengsara. Membiarkan yang bisu tak berbicara, agar mereka tak mampu mengadu, mengadu pada Tuhan yang benar.

Mungkin dengan api semuanya menjadi damai. Sebab kesejukan dipenuhi dengan kesalahpahaman soal nilai. Nilai-nilai yang tak pernah mereka imani. Sebab mereka gemar ritual, namun tak paham esensi. Sebab mereka gemar memberi, namun dengan moral yang palsu.

Batang pohon yang terinjak akan tetap patah, kendati si penginjak meminta maaf penuh tangis. Sang pohon melambat tumbuh, sebab ia khawatir diinjak lagi. Ia bahkan berpikir menjadi kering dan gugur, kendati buahnya selalu dinanti. Kendati yang menanti tak pernah menyiramnya dengan kasih, ia enggan menjadi egois dan mengering, bahkan setelah diinjak berkali-kali.

Keheningan itu penuh kemurungan, segala sedu melebur menjadi sedan. Keheningan itu mengandung tenang, tak pernah ada yang berani mengganggu. Keheningan itu bukan tak berisik, sebab bunyi hanya menunggu jatuh pada telinga yang dihendaki.

Segenggam anggur telah habis, hidup masih sengsara saja. Dialektika Tuhan berlangsung, mereka tetap kelaparan saja. Waktu telah menguap, tahun sudah habis saja.