1 min read

Menyembah Tafsir

Sempitnya jalan pikiran membuat Tuhan tampak egois. Bukan sebab mabuk agama, faktanya memang segitu saja. Untuk menjadi mabuk, perlu konsumsi; serepih tak membuat pengar. Mabuk menjadi mewah dan jerkah. Para "progresif" mulai mengumpat, padahal sama saja. Biji-biji fasis mulai tersemai.

Bila ada suatu ambang, mereka tak yakin lolos. Ambangnya ditolak, seraya bilang, "ini demi akhirat!". Kamerad mulai bersorak-sorai, "ini adalah jalan Tuhan!". Siapa berani melarang, ia melawan Tuhan. Sial, tak ada interupsi. Mereka semua mulai berbuah.

Siapa yang pandai menunjuk, jadi ahlinya. Apa saja yang menetes dari bibirnya, sudah pasti benar. Apa saja dibahasnya, dari yang gaib hingga yang melampaui akal pikirnya. Ad verecundiam hanyalah basa-basi, setuju saja, tidak perlu banyak tanya. "Ini bukan dogma!", katanya. "Kami ingin mendapat berkah", sambungnya.

Sebagian dari mereka saling mengusir, sebab masalah tafsir. Yang "salah" ialah yang jumlahnya sedikit, tentu, yang banyak punya kuasa. Sebagian mereka menjadi minoritas dalam mayoritas. Seolah tak boleh bicara, sebab "sesat", katanya. "Tafsir yang benar" selalu menjadi frasa yang lucu.

Beberapa yang paling berisik dilepas izinnya dengan alasan mengganggu. Tentu saja, mengganggu yang berkuasa. Tak ada yang berani protes soal "mengganggu". Para "progresif" mulai berdansa. Mereka terlalu pandir untuk membaca bahwa besok adalah giliran mereka.

Bila cuaca sedang panas, mereka bersilih menjadi wakil Tuhan. Semua orang menunduk, siapa saja yang melirik akan dihardik. Dengan seragam lengkap serentak berseru, "kami membela agama!". Sungguh ajaib, sang pemberi hukum belum tentu marah, sang hamba sudah pasti menghukum.

Tak ada hierarki dalam lingkungan, semua berhak hidup.